Menyelamatkan Tunas Bangsa, Mengapa Hak Anak Balita Harus Menang Melawan Kelalaian Orang Tua?

Anak seorang ODGJ pun, berhak mendapatkan kesempatan untuk masa depan yang sama

SAMBONG, BLORA – Dalam hiruk-pikuk penanganan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Kecamatan Sambong, terselip satu nyawa kecil yang masa depannya sedang dipertaruhkan. Seorang anak perempuan berusia 2 tahun 4 bulan, putri dari Saudari Mawadah Rahmawati (MR), kini menjadi fokus utama intervensi Kementerian Sosial RI. Di balik perdebatan medis dan mistis, ada hak dasar seorang anak untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman dan menyenangkan.

Hak Anak Bukan Tawaran, Tapi Kewajiban Negara 

Sesuai dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, negara memiliki kewajiban untuk menjamin anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

Tindakan Mawadah yang membawa anaknya hidup nomaden di jalanan, terpapar delusi yang menakutkan, hingga risiko fisik akibat penggunaan senjata tajam (besi cor), secara hukum telah masuk dalam kategori Penelantaran Anak dan Eksploitasi Situasi.

"Kita tidak pernah tahu masa depan anak ini. Mungkin ia akan menjadi guru yang bijak, petani yang sukses, atau bahkan menteri perempuan yang hebat. Namun, semua potensi itu akan gugur jika hari ini kita membiarkannya tumbuh dalam trauma dan ketidakpastian," tegas Heri ireng, Pengelola Layanan Operasional Kemensos RI di Sambong.

Kepentingan Terbaik Bagi Anak (The Best Interests of the Child)

Keputusan petugas untuk membawa kembali Mawadah ke panti rehabilitasi bukan sekadar memisahkan ibu dan anak, melainkan upaya penyelamatan. Secara psikologis, membiarkan anak balita berada di bawah pengasuhan orang tua yang sedang dalam kondisi relaps (kambuh) tanpa pengobatan adalah bentuk pembiaran terhadap bahaya nyata.

Hukum di Indonesia secara tegas menyatakan bahwa jika orang tua tidak mampu menjamin keselamatan anak, maka negara berhak melakukan intervensi. Dalam kasus ini, sang nenek yang seharusnya menjadi lapis perlindungan kedua, justru terjebak dalam pengaruh mistisme dukun, sehingga fungsi pengawasan keluarga menjadi lumpuh.

Memutus Rantai Trauma 

Anak balita berada dalam masa emas (golden age). Apa yang ia lihat dan rasakan hari ini akan membentuk struktur otaknya di masa depan. Mengajak anak bicara seolah-olah orang dewasa dengan narasi kebencian terhadap ayahnya atau halusinasi tentang bahaya medis adalah bentuk kekerasan psikis yang sistematis.

Petugas Kemensos RI berkomitmen bahwa langkah evakuasi Mawadah adalah satu-satunya jalan agar anak tersebut tetap mendapatkan pengasuhan yang layak dari pihak keluarga lain (ayahnya) dalam kondisi yang stabil.

"Tugas perkembangan anak harus dilalui dengan cara yang baik dan menyenangkan, bukan dengan pelarian dari kota ke kota di bawah bayang-bayang linggis dan ketidakpastian," tambah petugas.

Perlindungan anak adalah hukum tertinggi dalam kasus ini. Ego keluarga atau kepatuhan terhadap dukun tidak boleh mengalahkan hak seorang manusia kecil untuk melihat hari esok yang lebih cerah. Negara tidak akan mundur, karena menyelamatkan satu anak berarti menyelamatkan satu masa depan Indonesia.