Dilema Petugas Kemensos, Antara Edukasi Kemandirian dan Stigma "Bantuan Tunai"

Seorang petugas pelayanan operasional Kemensos sedang berdialog dengan keluarga penyandang disabilitas di teras rumah sederhana.

Bagi seorang petugas dari Direktorat Pemberdayaan Masyarakat yang bertugas di tingkat kecamatan, setiap ketukan pintu saat home visit memiliki beban psikologis yang berat. Di dalam tas kerja mereka, tersimpan dokumen rencana terapi, jadwal rujukan RSUD, dan panduan pengasuhan. Namun, di mata keluarga Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), tas tersebut seringkali dianggap membawa amplop bantuan atau kabar mengenai cairnya dana bansos.

Fenomena ini menjadi tantangan kolektif bagi para pengelola layanan operasional di berbagai wilayah. Ketika petugas datang untuk memberikan layanan konsultasi bagi keluarga penyandang disabilitas berat atau Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), suasana hangat seringkali berubah menjadi dingin saat diketahui bahwa kunjungan tersebut "hanya" untuk pendampingan psikososial, bukan penyaluran bantuan materiil.

Tantangan Stigma dalam Rehabilitasi Sosial

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa stigma bantuan uang masih sangat kental. Padahal, inti dari pelayanan kesejahteraan sosial adalah keberfungsian sosial.

  1. Layanan Rujukan: Memastikan PPKS mendapatkan hak medis melalui PBI-JKN atau BPJS Kesehatan.

  2. Dukungan Keluarga: Mengedukasi orang tua atau wali agar memiliki resiliensi dalam merawat anggota keluarga yang berkebutuhan khusus.

  3. Terapi dan Pengasuhan: Menjaga agar perkembangan fisik dan mental klien tetap terpantau, seperti memastikan penyandang penyakit saraf tetap bisa beraktivitas ringan secara mandiri.

"Seringkali kami merasa speechless," ujar salah satu petugas lapangan. "Kami datang membawa solusi jangka panjang agar mereka mandiri, namun keluarga seringkali terbentur pada alasan ketiadaan dana dan tenaga untuk membawa klien kontrol ke rumah sakit, meski biaya pengobatannya sudah gratis ditanggung negara."

Formalitas yang Mengiris Hati

Banyak petugas yang akhirnya terjebak dalam rutinitas formalitas. Kunjungan dilakukan, kabar ditanyakan, dan data diisi. Namun secara substansi, ada rasa malu yang menghinggapi para petugas ketika mereka menyadari bahwa sebagian besar keluarga sebenarnya sudah tahu apa yang harus dilakukan (seperti kontrol ke faskes), tetapi mereka tetap mengharapkan lebih dari sekadar edukasi.

Keengganan petugas untuk memperluas jumlah klien baru pun sering muncul. Bukan karena malas, melainkan karena kelelahan mental menghadapi pertanyaan serupa di setiap rumah baru: "Bapak datang membawa bantuan apa?"

Membangun Ekosistem Kesejahteraan yang Sehat

Masalah ini tidak bisa diselesaikan oleh petugas Kemensos sendirian di tingkat kecamatan. Diperlukan sinergi lintas sektor:

  • Pemerintah Daerah: Melalui dukungan transportasi bagi PPKS yang tidak mampu menjangkau faskes.

  • Tokoh Masyarakat: Membantu mengedukasi warga bahwa kehadiran negara tidak selalu dalam bentuk uang, melainkan sistem perlindungan yang berkelanjutan.

  • Keluarga: Menyadari bahwa pengasuhan yang tepat dan terapi rutin adalah investasi terbaik untuk masa depan PPKS.

Petugas Kemensos di kecamatan adalah jembatan, bukan bank berjalan. Mereka adalah ahli yang memastikan bahwa tidak ada satu pun warga rentan yang terputus aksesnya dari layanan kesehatan dan perlindungan sosial. Menghargai kehadiran mereka berarti menghargai proses pemulihan martabat kemanusiaan itu sendiri.