Menuju Demokrasi Bansos, Mengapa Desa Harus Jadi Panglima Data Kemiskinan?

Rapat Musyawarah Desa yang demokratis akan menunjukkan partisipasi aktif warga dalam memvalidasi data kemiskinan di papan pengumuman desa

Fenomena 1,9 juta "penerima bansos siluman" yang dicoret Kementerian Sosial pada pertengahan 2025 menjadi lonceng kematian bagi sistem pendataan yang bersifat top-down. Angka fantastis tersebut bukan sekadar statistik; itu adalah potret ketidakadilan. Di satu sisi, ada orang mampu yang "merampok" hak si miskin (inclusion error), dan di sisi lain, banyak warga di pelosok—mungkin di sudut-sudut Sambong atau Jati—yang justru terabaikan dari radar negara (exclusion error).

Sudah saatnya kita berhenti melakukan tambal sulam pada sistem yang usang. Jawabannya bukan lagi sekadar aplikasi baru dari pusat, melainkan Desentralisasi Bansos. Kita perlu mewujudkan apa yang disebut sebagai Demokrasi Bansos.

Desa Paling Tahu Isi Piring Warganya

Secara logis, birokrat di Jakarta tidak akan pernah tahu jika seorang warga di Kedungtuban baru saja menjual sapinya untuk berobat atau jika seorang penerima manfaat di Randublatung sebenarnya sudah memiliki rumah mentereng. Hanya desa—melalui perangkat desa, Ketua RT/RW, dan tetangga sekitar—yang memiliki "mata" untuk melihat kemiskinan secara real-time.

Menjadikan desa sebagai Panglima Data berarti memberikan otoritas penuh pada enam pilar:

  1. Data & Validasi: Musyawarah Desa (Musdes) menjadi institusi tertinggi. Tidak boleh ada nama yang muncul di pusat tanpa restu Musdes yang transparan.

  2. Pengusulan & Anggaran: Desa diberikan pagu anggaran bansos yang dikelola secara mandiri, bukan sekadar menunggu "paket" dari pusat.

  3. Penyaluran & Evaluasi: Eksekusi dilakukan oleh bank penyalur atau kantor pos langsung berkoordinasi dengan desa untuk memastikan bantuan tepat waktu dan tepat jumlah.

Mitigasi Risiko, APH dan Kekuatan Netizen

Kekhawatiran klasik pusat selalu sama: "Bagaimana jika terjadi nepotisme di desa?" Jawabannya adalah transparansi radikal. Di era digital ini, kekuatan Netizen Indonesia adalah detektor kebohongan paling efektif. Ketika data penerima dipampang di balai desa dan diunggah ke media sosial, kontrol sosial akan bekerja secara organik.

Jika ada perangkat desa yang "bermain", Aparat Penegak Hukum (APH) harus bertindak tanpa kompromi. Desentralisasi bukan berarti lepas kendali, melainkan memindahkan fokus pengawasan pusat dari sekadar "adminstrasi kertas" menjadi "pengawasan lapangan".

Kesimpulan, Kerelaan Pusat adalah Kunci

Efektivitas, efisiensi, dan ketepatan sasaran bansos hanya bisa dicapai jika Pemerintah Pusat rela melepaskan ego sektoralnya. Pusat harus bertransformasi menjadi regulator dan pengawas, bukan lagi pelaksana teknis yang kewalahan mengurus data ratusan juta jiwa.

Saatnya memberi ruang bagi desa untuk mandiri. Dengan begitu, bansos bukan lagi sekadar komoditas politik, melainkan instrumen kemanusiaan yang tepat guna, tepat waktu, dan tepat martabat.